Sabtu, 11 April 2015

Puisi : Terdiam

by Erina Dwi Lestari

Angin berbisik tak bersuara
Dingin melambai tak berwujud
Hampa beramai-ramai menemani
Dan aku terdiam

Malam datang seiring hilangnya sang mentari
Gelap semakin pekat bulan tak berdaya
Hati yang kosong tanpa wajah menjadi semakin kosong
Dan aku tetap terdiam

Getir rasa semakin kejam menjilat
Manis lezat tak pernah lagi ku dapat
Hening kepolosan ku sudah terbiasa
Dan aku masih terdiam

Sinar mentari tak lagi menyapa
Siang menyengat tak dapat menyilaukan
Sesal terasa tak ada guna
Dan aku harus tetap terdiam

Detak nadi tak lagi berirama
Desiran nafas tak kan lagi ku rasa
Inilah cerita tentang akhir segalanya

Karena ku hanya dapat terdiam

Puisi : Kisah Si Kecil

by Erina Dwi Lestari

Si kecil yang baru bisa merangkak
Di dokrin untuk dapat mencari uang
Menghafal kata demi kata
Yang katanya untuk masa depan

Toh ia hidup di masa kini
Toh masa depan masih di awang-awang
Begitu beratnya beban si kecil yang baru merangkak ini
Di saat ia masih bermimpi untuk dapat berjalan
Dan hidup memaksa untuk mewujudkan beribu kali lebihnya

Di saat keangkuhan menjadi prioritas
Penyebab kita hidup pun terlupakan
Si kecil tak berdaya untuk menolak
Karena memang itu suatu keharusan

Si kecil yang giginya belum tumbuh lengkap
Di berikan mimpi untuk kesuksesan masa depan
Oleh orang dewasa di sana yang tersenyum lebar
Seraya mendikte si kecil dalam manisnya kesempitan

Kepalsuan terlihat begitu indah
Berharap dengan itu di saat dengan yang ini
Seperti manis di saat menelan getir
Walau si kecil tahu, namun ia akan terbiasa
Untuk menerima indahnya bak kilau permata imitasi

Wahai si kecil yang baru bisa merangkak
Memang tak banyak yang bisa engkau lakukan
Selain terus merangkak dan merangkak
Untuk mewujudkan mimpi besarmu
Mimpi untuk dapat berjalan

Puisi : Si Raja Panggung

by Erina Dwi Lestari

Sumpah hal ini terasa begitu konyol
Disuruh tertawa, ia tertawa
Disuruh menangis, ia menangis
Disuruh berdansa dan bertepuk tangan
bersama senyum palsu yang ia sunggingkan lewar penuh paksaan

Ya, kalau kami sama memang kenapa?
Ya, kau di depan apa peduli ku?
‘Ba bi bu’ kata-katamu hanya sekedar omong kosong belaka
Kau pikir kau Raja yang harus aku dengarkan,
dan segala ucapanmu bagai titah bagiku?

Kau buat kami tak ubahnya seperti badut-badut tanpa bayaran
Berlenggak-lenggok untuk kepuasan hatimu
Berpolah dengan aturanmu demi keangkuhan
Menjilat muka demi kegagahan
Merasa hebat dalam kebodohan
Berharap memeluk dunia dalam kebutaan
Dan sumpah, ini terasa begitu konyol

Puisi : Tobat



By Erina Dwi Lestari

Dunia memang serba kebetulan
Saat kita ingin yang ini terjadilah ini
Saat kita ingin yang itu terjadilah itu
Oh Tuhan
Engkau begitu baiknya
Kepada aku yang tak sungguh-sungguh ini
Apakah ini berarti kau sayang padaku?
Atau kah ini sebaliknya?
Kau memberikan semua ini sebagai hadiah akan kebosananm?
akan ku yang durhaka ini?

Ini dan itu saling tertaut
Sebagai sebab dan akibat yang kadang buatku takut
Namun tetap ku tak tertampar untuk terus bersujud

Bagi hati yang keras bagaikan batu
Tetap dapat ditaklukan oleh air yang datang terus menerus
Entah bagaimana caranya
Kapan kah air itu datang padaku
Ku berharap cepat walau ku tak pernah mengajar

Tuhan selalu mempermudah
Hanya ku yang tak tahu muka
Selalu ingin lebih walau telah mendapat lebih
Selalu merasa kurang walau jauh akan kekurangan

Ini dan itu saling tertaut
Sebagai sebab dan akibat yang kadang buatku takut

Dan ku akan mencoba untuk mulai bersujud

Puisi : Dengan Judul Indonesia



By Erina Dwi Lestari

Semarak senyum keindahan memancar
Jaya raya hati bergelora
Dengan kaya alamu yang tiada tara
Sepanjang Sumatera hingga Irian Jaya
Seluas Selatan hingga Utara

Pusaka terindah yang pernah tertitip
Indah citra lezat tercicip
Saat percik kilau mutiara samudera berkelip
Seraya sejuk belantara hijau membuai kulit

Gunung tinggi berdampingan bersama lautan
Lautan biru nan dalam penuh sesak akan kekayaan
Tergambar jelas dalam bingkai sekali kata
Berukir indah tersebutlah Nusantara

Tak ku ragu tuk memujamu
Kekaguman jiwa yang takkan terkikis masa
Karya indah Sang Maestro Pencipta

Tersebutlah indah dengan judul Indonesia

Puisi : Gelora Tak Terungkap



By Erina Dwi Lestari

Kala cinta menyapa raga
Rasa sunyi seakan sirna dari dunia
Kala cinta terus bersandiwara
Pahit di jiwa jauh terkubur tak lagi rasa

Cinta menari dalam angan fantasi
Membelit asa, ciptakan mimpi
Terus pompa setiap detakan nadi
Mengalir deras dalam samudera di hati

Cinta merayu, dusta pun tahu
Hilang semua tertutup rindu
Yang tak permisi untuk dijamu
Agar  siapkan sajian raga terbaikku

Inilah cinta, begitulah cinta
Penuh misteri tanpa uraian kata
Datang berjalan membawa gelora

Gelora cinta, ya hanya cinta


Puisi : Hanya pada Indonesia



Hanya pada Indonesia
By Erina Dwi Lestari

Rayu indah dari dia dan mereka
Tak buatku berpaling padamu
Kilau cantik pesonanya dia dan mereka
Tak ku indahkan walau kau tak secerahnya
Apa?
Dalam hati ku bertanya
Begitu hebatkah dirimu?
Apa yang ku inginkan atas itu?
Yang buatku tak bisa berpindah ke lain tempat

Dia dan mereka memang begitu gemerlap
Penuh janji akan kejayaan
Namun tak ada dari dia dan mereka
Yang berhasil memberi kesan teramat dalam

Kau telah merawat ibuku hingga ia lahirkan ku
Dilahirkan untuk dibesarkan dan dididik
Untuk buat kau dapat membiaskan cahaya
lebih dari dia dan mereka
Untuk dapat kembali
Merawat generasi selanjutnya

Biarkan ku tumbuh dan berkembang
Sampai layu dan berguguran
Pun daku berharap tetap padamu lah dalam tidur panjang nan lelap
Biarkan ku rasakan hangat tanah lahirku
Memeluk disaat dingin dingin jasadku

Bukan padanya
Bukan pada mereka

Tapi, hanya kau Indonesia

Puisi : Malam Di Ujung Senja



Malam Di Ujung Senja
By Erina Dwi Lestari

Senyum dan tawa tertinggal bayang
Ingatku terlampau jauh liar selalu terpampang
Rajutan cinta terhenti ku yakin bukan penghabisan
Lilitan kasih tetap ku simpan

Inikah penggalan terpahit itu?
Yang ‘tlah dijanjikan oleh Sang Pemilikmu?
Bersikeras tegak  walau masih dadaku berontak
Tertuntut menelan walau teramat pilu

Cintaku terambil di ujung senja
Senja yang harap bisa puaskan mata
Citra indah nun jingga dan tak berlangsung lama
Segera terganti langit kelam yang sesakkan dada

Seraya menunggu malamku datang
Ku menari dalam luka dan menangis dalam suka
Malammu yang ‘tlah menjerat dan senjaku yang segera berlalu
Berharap  menatap indahnya sang mentari pagi bergandengan

Cinta tetap di sana meski cinta takkan kembali
Biarkan ku ke sana, jemputlah daku di penjelangan
Indahkan dalam penantian, tuk kucepat rasa bersama

Abadi, tak terpisah selamanya

Puisi : Hujan



Hujan
By Erina Dwi Lestari

Helai demi helai rumput mulai tersenyum
Satu per satu bunga mulai bersinar
Guratan demi guratan akar bersorak gembira
Sudah lama tak rasakan lezatnya dirimu

Semilir angin yang membawamu kemari
Ku rasakan sejuk senyapu kalbu
Walau tak dapat kalahkan kuasa sang mentari
Kau tetap ku nanti, alam pembutuhmu

Hujan, tahukah kau bahwa terkadang,
Inginku memanggilmu, menari bersama saat ku rindu
Tersenyum menatap harap, dan bersyukur atas hadirmu
Namun maaf hujan, tahukah kau bahwa terkadang,
Kecewaku padamu, luka pilu penuh mengisi dadaku
Menohok tak inginkanmu, dan berharap kau sudahi dan berlalu

Hujan, kau dan aku saling berdampingan
Memberi dengan takaran yang telah di tetapkan Sang Pencipta
Bencana saat berharap melebihi atau mengurangkan
Hujan, kau memberi kesejukan agar ku tetap hijau
Dan hijauku kau butuhkan agar kau tetap bisa bernyanyi
 Hujan, tetaplah baik hatimu
Jangan siksa mereka, jangan binasakan mereka
Biarkan sang perusak kita menyesal sahaja

Dan bersama bimbing mereka untuk berubah

Puisi : Hilang



Hilang
By Erina Dwi Lestari

Mengapa ada cinta di saat cinta tak miliki cinta
Dari awal kuyakini, engkaulah pemilik rusukku
Dari awal kuamini, kau kan setia padaku
Meraba masa depan, harap indah bayangan cerah

Ucap rayu manismu membelai pendengaran
Desah nadi hidupku, ku berikan tak ada kurangnya
Tapi kau biarkan semua berlalu bagai debu tertiup lembayu
Biarkan ku merangkak tertatih mulai berjalan
Sakit memang tanpa awal jelas dan akhir jelasnya
Memikir kau terpejam pergi, ku bernafas menunggu

Air mata kosong semakin deras berurai
Kosong hampa tak tahu apa
Ku berdiri walau ku tak ingin berdiri
Ku berjalan walau ku tak sanggup berjalan
Ku tundukan pandangan, ku sematkan rindu di hati
Dan tak biarkan kau berlalu

Senyum-senyum luka ku coba kembangkan
Senyum hampa tak berarti apa
Ku bosan walau ku tak mengerti bosan
Ku benci walau ku sanggup membenci
Ku angkat pandangan, ku sematkan cinta semati

Dan tak biarkan ku terlalu

Rabu, 08 April 2015

Puisi : Sang Penderita


SANG PENDERITA
By Erina Dwi Lestari

Gurat-gurat keriputnya dibiarkan lembab oleh air penuh rasa
Yang keluar dari kedua mata buramnya
Seolah meyakinkan kepada dunia
Cerita yang pernah ia lalui bersama

Bahagia hanya sekedar senyuman
Senyuman semu sekilas lalu
Derita bagai santapan malam
Kesedihan tak beda dengan tidur siang

Indah dunia kadang ia rasa
Pahit dunia selalu di dada
Serasa ingin berlalu
Lupakan pilu bagai tak pernah tahu

Namun itulah ia dan kisahnya
Kelu sendu pilu lezatnya
Impian tak bisa lagi ia haturkan
Pertahanan kisah derita yang dibutuhkan

Puisi : Dahimu!



DAHIMU!
Erina Dwi Lestari

Sebuah mitos penuh harapan palsu
Konon, Tujuh Belas Agustus Tahun Empat Lima
Negara itu merdeka, katanya
Skeptis terdengar
Raung hati tak menanggukkan
Siapa dan untuk apakah merdeka

Dalam kemerdekaan uzhurnya
Moral tak berharga, katanya
Uang di atas segala-galanya
Kami yang berkuasa
Kami pula yang berbahagia

Apalah itu
Mitos hanya sekedar mitos
Katanya bukan katanya
Yang konon hanya dahimu yang mengamini
Petaka besar bagi alas seperti kami

Inilah kami, beginilah kami
Tuk mengisi perut pun harus mengikis sisa tenaga yang tersisa
Menjilat dahimu pun kami lakukan untuk bisa tetap bernafas
Apalah kami, siapalah kami
Tak lebih dari sekedar kutu busuk yang ada di kasurmu
Pun kau beri puntalan kekuasaan di mulut kelu ini
Ditambah sedikit receh dari kantong-kantong alasmu
Buat kami silau akan mulianya akhlak topeng dahimu

Puisi : Suara Sepi Temaram


SUARA SEPI TEMARAM
Erina Dwi Lestari

Kilau wajah yang semakin meredup nyeringai di tepian senyum
Senyum dalam pembentuk pusara di pipi, pudar oleh balaunya angin
Angin yang membelai kulit tak henti-hentinya merengek
Merengek, meminta, menuntut untuk tetap kekal abadi

Lintas dimensi syaraf yang tertaut di balik tulang tengkorang yang kokoh
Tak sejalan dengan isi di ubun-ubun
Hati, perasaan, pikiran, bawah sadar, tabiat, entah istilah omong kosong lainnya?
Omong kosong untuk dimengerti
Di mengerti dan tak bisa mengerti

Sang binatang buas yang berbicara ini jauh lebih kejam dari apa pun yang ada di belantara
Mencari makan tak bertakar malu
Melakukan apa yang serigala atau babi hutan pun tak sudi melirik
Sel baik hati nan mulia terganti sel jahanam pewarisan makhluk yang digambar bertanduk oleh Penciptanya
Yang tak pernah berharap sang binatang menjadi rekan

Cih! Siapa kau!
Aku sekuat ombak samudera
Tak terkalahkan, terbayar sang jahanam
Merasa berkuasa melebihi Tuhan

Sejagat sepi ku dengar bising temaram penuh kesah
Kesah kecil yang bahkan tak berarti lebih dari sekedar kotoran di balik bayang ilusi
Di manakah milikku?
Tak adakah arus yang mau menampungya?
Sudikah kiranya sang mulia mencicipi merdu dendangnya?

Sebuah hati kecil yang tak bersuara
Oleh binatang yang dibinatangkan
Tak berdaya, bukan siapa dan apa
Takut berharap perubahan

Takut bermimpi kebahagiaan, rindu akan kebahagian