SUARA SEPI TEMARAM
Erina Dwi Lestari
Kilau wajah
yang semakin meredup nyeringai di tepian senyum
Senyum dalam
pembentuk pusara di pipi, pudar oleh balaunya angin
Angin yang
membelai kulit tak henti-hentinya merengek
Merengek,
meminta, menuntut untuk tetap kekal abadi
Lintas dimensi
syaraf yang tertaut di balik tulang tengkorang yang kokoh
Tak sejalan
dengan isi di ubun-ubun
Hati, perasaan,
pikiran, bawah sadar, tabiat, entah istilah omong kosong lainnya?
Omong kosong
untuk dimengerti
Di mengerti dan
tak bisa mengerti
Sang binatang
buas yang berbicara ini jauh lebih kejam dari apa pun yang ada di belantara
Mencari makan
tak bertakar malu
Melakukan apa
yang serigala atau babi hutan pun tak sudi melirik
Sel baik hati
nan mulia terganti sel jahanam pewarisan makhluk yang digambar bertanduk oleh Penciptanya
Yang tak pernah
berharap sang binatang menjadi rekan
Cih! Siapa kau!
Aku sekuat
ombak samudera
Tak
terkalahkan, terbayar sang jahanam
Merasa berkuasa
melebihi Tuhan
Sejagat sepi ku
dengar bising temaram penuh kesah
Kesah kecil
yang bahkan tak berarti lebih dari sekedar kotoran di balik bayang ilusi
Di manakah
milikku?
Tak adakah arus
yang mau menampungya?
Sudikah kiranya
sang mulia mencicipi merdu dendangnya?
Sebuah hati
kecil yang tak bersuara
Oleh binatang
yang dibinatangkan
Tak berdaya, bukan
siapa dan apa
Takut berharap
perubahan
Takut bermimpi
kebahagiaan, rindu akan kebahagian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar